Monday, September 5, 2011

Kaitan Sederhana antara Ajaran Islam dan Kode Etik Samurai

Nabi Muhammad SAW bersabda “Orang yang cerdas adalah orang yang pandai menghisab dirinya di dunia dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang dirinya suka mengikuti hawa nafsunya dan hanya suka berharap kepada Allah tanpa melakukan apa-apa.” (HR. At-Tirmidzi)
Kehidupan samurai diibaratkan bunga sakura yang umurnya sangat singkat. Dalam Bushido Shonshinsu karya Taira Shigesuke, topik tentang ‘mengingat kematian’ ditempatkan di bagian paling mendasar. Seorang samurai harus ingat akan kematian sepanjang waktu. Cara mengingat kematian bukan sekedar berpangku tangan, namun memenuhi semua kewajiban publik maupun pribadi siang dan malam. Mereka juga tidak takut mati, dan rela melakukan dalam tugas dan perjuangan apapun meski nyawa menjadi taruhannya.


“Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban)
Gi (integritas) adalah nilai yang harus dipegang oleh seorang samurai, yaitu senantiasa mempertahankan etika, moralitas, dan keberanian. Integritas merupakan nilai bushido yang paling utama. Kata integritas mengandung arti keutuhan meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama antara pikiran, perkataan, dan perbuatan.


“Bukan dikatakan pemberani karena seseorang cepat meluapkan amarahnya. Seorang pemberani adalah mereka yang dapat menguasai diri (nafsu)-nya sewaktu marah” (HR Bukhari dan Muslim)
Yu (keberanian) merupakan sebuah karakter dan sikap untuk bertahan demi prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan dan kesulitan. Keberanian merupakan ciri para samurai, mereka siap dengan resiko apapun termasuk mempertaruhkan nyawa demi memperjuangkan keyakinan. Dalam kode bushido sikap pemberani tidak saja terlihat dalam situasi perang, namun juga dalam keadaaan damai.


“Sesungguhnya Allah SWT Maha Pemurah, Dia mencintai sifat pemurah, dan Dia mencintai akhlak yang mulia serta membenci akhlak yang rendah.” (HR. An-Na’im melalui Ibnu Abbas ra.)
Bushido memiliki aspek keseimbangan antara maskulin (yin) dan feminin (yang). Jin (kemurahan hati) yaitu mencintai sesama, kasih sayang, dan simpati mewakili sifat feminin. Meski berlatih ilmu pedang dan strategi berperang, para samurai harus memiliki sifat pengasih dan peduli pada sesama manusia.


“Sesungguhnya Allah SWT Maha Santun, dan menyukai kesantunan dalam segala hal.” (HR Bukhari)
Rei (penghormatan) yaitu bersikap santun dan hormat pada orang lain. Ksatria tidak pernah bersikap ceroboh, namun senantiasa menggunakan kode etiknya secara sempurna sepanjang waktu. Sikap santun meliputi cara duduk, berbicara, bahkan dalam memperlakukan benda atau senjata.


“Malu adalah sebagian dari Iman” (HR Bukhari dan Muslim)
Meiyo (nama baik, kehormatan): kemuliaan dan menjaga kehormatan. Bagi samurai cara menjaga kehormatan adalah dengan menjalankan kode bushido secara konsisten. Seorang samurai memiliki harga diri yang tinggi, yang mereka jaga dengan cara perilaku terhormat. Salah satu cara mereka menjaga kehormatan adalah tidak menyia-nyiakan waktu dan menghindari perilaku yang tidak berguna. Pada akhirnya, malu menjadi budaya leluhur dan turun-temurun bangsa Jepang.


Rasulullah bersabda, “Engkau tetap harus setia mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun (ibaratnya) ia memukul punggungmu atau mengambil hartamu, maka tetaplah untuk setia mendengar dan taat!” (HR. Muslim)
Chugo (loyal): kesetiaan kepada pemimpin dan guru. Kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Puncak kehormatan seorang samurai adalah mati dalam menjalankan tugas dan perjuangan.




Dirangkum dari buku “Spiritual Samurai” karya Ary Ginanjar.



Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150227615002082

Biarkan Diri Diatur Waktu!

Ini bukanlah pesan, melainkan sebuah nasihat untuk diri sendiri. Sebuah catatan yang (mungkin) mampu menginspirasi mereka yang masih kurang pandai dalam melakukan manajemen waktu, termasuk saya sendiri. Padahal, konsep manajemen waktu itu merupakan pemahaman dasar yang justru ditekankan di masa-masa awal mahasiswa, khususnya di ajang LKMM Pra Dasar. Sebuah bukti sahih bagaimana aplikasi pengaturan waktu ideal merupakan kebutuhan dasar seorang pelajar di tingkatan universitas.

Seringkali kita mendengar petuah bahwa kita lah yang seharusnya mengatur waktu, bukan sebaliknya. Waktu akan menjadi sebuah momen yang mengantarkan pemiliknya menuju kejayaan manakala ia mampu memanfaatkannya secara oportunis. Sebaliknya, jika seseorang tidak bijak dalam menggunakan waktunya, atau dalam kata lain ia seperti diatur waktu, maka orang tersebut akan terombang-ambing dalam ketidakpastian dunia. Ia hanya seperti menjadi sesosok jasad yang tidak memiliki arahan yang konkret.

Mengaplikasikan konsep manajemen waktu memang tidak semudah ketika kita membicarakannya dari segi teori. Mengatur waktu memang tidak semantap ketika menggoreskannya dalam sebuah kertas dengan menggunakan sebuah pena hitam. Dan memanfaatkan waktu untuk dikonversi menjadi sebuah momen yang bermanfaat memang tidak lebih gampang dibandingkan ketika kita menerima godaan untuk berhenti bekerja dengan dalih “istirahat”. Sulit memang, begitu pula dengan saya sendiri. Meski demikian bukan berarti kita akan membiarkan diri kita terbawa arus waktu yang pada akhirnya akan menggerus kita dalam perputaran roda kehidupan. Jika kita tidak mampu membuat waktu itu menurut pada kita, maka cara yang dapat kita lakukan adalah bergerak lebih cepat dan pintar dari waktu itu sendiri.

Kesibukan adalah satu-satunya cara yang akan membuat kita mampu melebihi kecepatan waktu. Menumpuk sebanyak-banyaknya kesibukan –namun tetap disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan diri kita– akan menjadikan kita lebih menghargai waktu itu sendiri. Ketika tubuh ditekan dengan berbagai macam tuntutan dan kewajiban, maka jiwa akan memaksa raga untuk tetap bergerak, dinamis melawan kecepatan waktu yang notabene sangat singkat, dimana planet Bumi hanya menyediakan 24 jam setiap harinya.

Untuk itulah, untuk dapat menjalani hidup dengan baik sebenarnya kita tidak perlu terlalu tegas pada waktu dengan mengaturnya secara detail. Kita juga tidak perlu membuat perencanaan yang terlalu rumit untuk menjadikan kita mampu mengendalikan waktu, bukannya sebaliknya. Namun seharusnya kita mampu menjadikan waktu itu layaknya manajer kita sendiri. Melalui kesibukan yang padat, awalnya kita lah yang mengatur waktu. Otak kita akan dipaksa membuat sebuah pola pikir yang sistematis, mana saja target-target yang merupakan prioritas, mana pula yang dapat ditunda untuk dilakukan setelah poin-poin yang lebih urgen. Cukup itu saja, tidak perlu terlalu detail. Setelah itu, waktulah yang akan menjadi cambuk bagi kita untuk terus melakukan dinamisasi kehidupan, menuntut kita untuk menepati janji kepada diri kita sendiri, mengancam dengan konsekuensi yang akan merugikan diri kita manakala janji itu terbengkalai, serta meningkatkan kedisiplinan untuk menjadikan kita menjadi manusia yang visioner. Semua itu tidak akan dapat dilakukan oleh mereka yang menganggur dan memiliki banyak waktu yang kosong.

Seorang sahabat mengatakan, mereka yang memiliki banyak aktivitas maka tidurnya adalah sebuah istirahat. Sedangkan mereka yang lebih banyak menganggur maka tidurnya adalah sebuah kesia-siaan karena hidupnya lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak penting dan tidak bermakna. Karena itulah, memadatkan waktu dengan hal-hal yang berguna adalah satu-satunya cara bagi kita untuk mengatur waktu sekaligus menjadikan waktu itu sebagai manajer yang akan mengatur hidup kita ke arah kedisiplinan yang ia tuntut.

NB: Ini cuma sedikit nasihat untuk diri sendiri yang masih belum terlalu pandai dalam mengatur waktu. Namun manakala tulisan ini dapat bermanfaat untuk orang lain, itu jauh lebih baik.:-)


Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150133678512082